Monday, June 22, 2009

Contohnya

Kalau Google Map membuat peta sekolah gw, dan tiap muridnya diibaratkan sebagai “daerah” maka mungkin gw adalah daerah yang nggak dipetakan. Temen gw yang pintar mungkin dipetakan sebagai Yogya, yang cantik dan tampan sebagai Bandung, yang populer dan kaya sebagai Jakarta. Terus anak-anak yang nempelin mereka kemana-mana kaya Tinker Bell nempelin Paris Hilton atau kaya Kelik nempelin Si Buta dari Goa Hantu, adalah kota-kota komuternya. Sedangkan gw adalah desa tempat lu tinggal. Susah payah lu cari di peta,nggak bakal ketemu. Karena desa lu yang kecil itu nggak penting sehingga nggak terdekteksi sama Google.

Menjadi orang yang sebenarnya ada tapi nggak dianggap ada harusnya membuat frustasi remaja usia 17an. Karena you know, remaja umur segitu haus akan perhatian. Semua hormon yang mengalir di tubuh mereka didedikasikan untuk melakukan kegiatan “Cari Perhatian”. Segala hal mereka lakukan untuk dapat perhatian,termasuk ngomong pake fake bule accent atau berpura-pura tidak fasih bahasa Indonesia atau pura-pura habis diperkosa kepala sekolah sambil meraung-raung di koridor sekolah terus minta nilainya dinaikkan kalo nggak akan menyiram dirinya sendiri dengan bensin, oke, stop it, gw udah memasukkan khayalan pribadi gw ke dalam contoh.

Tapi gw sih nggak ngerasa frustasi. Gw bahagia. Bahagia dengan huruf B Kapital. Alasannya sih simpel, karena temen-temen gw lucu. At least menurut gw. Karena itu, gw selalu menunggu-nunggu pagi dateng biar bisa ke sekolah. I hate holidays. Karena gw nggak bisa ketemu sama temen-temen gw kalo libur.

Dan tolong jangan nanya, “kok nggak ke mall? Nonton?Makan?”. Boro-boro ke mall, jajan aja cuma cukup buat beli nasi lauk bakwan terus minumnya aqua gelas, atau kalo ibunya baik, nasi bakwan plus timun sama minumnya tetep,aqua gelas. Jadi, ke mall bukanlah opsi kegiatan yang bisa gw lakukan pas liburan. Gw cuma punya 2 opsi : nonton TV sampe bosen dan akhirnya gila atau nggak nonton TV sampe bosen nggak tau mau ngapain dan akhirnya gila. Ujung-ujungnya Holidays tetep membuat gw gila. Pengen menambahkan opsi lainnya sih, kaya melestarikan terumbu karang atau berenang bersama ikan pesut, tapi tentu saja itu malah menandakan kegilaan gw makin parah.

Makanya biar nggak gila, gw rajin banget ke sekolah. Karena banyak banget hal yang bisa bikin gw seneng di sekolah. Banyak banget kejadian aneh yang fit in my anehness. Kaya pagi ini.

Pagi-pagi sebelum pelajaran di mulai nggak ada kejadian aneh sama sekali di kelas 2.6. Tapi kita tau pasti, nanti jam 10 pasti ada kejadian aneh. Karena jam 10 itu ada pelajaran matematika yang diajar oleh bu Etty. Bu Etty ini guru yang nyentrik, slenge’an. Dia pake jilbab tapi nggak pernah rapi, selalu beberapa helai rambutnya keliatan di jidat. Pernah juga satu kancing bajunya di daerah perut kebuka, begitu ditegur, dia cuma jawab, “ah..nggak apa-apa, amal”, terus mengancingkannya tepat di depan kami, para lelaki tanggung yang sering mimpi basah dengan objek guru. Jadi, pasti, jam pelajaran dia adalah kejadian aneh itu sendiri.

Seperti biasa setelah selesai menjelaskan satu bab, dengan gaya slenge’annya dia menyuruh secara acak beberapa dari kita untuk maju ke depan kelas mengerjakan soal. “Boy, maju boy”, gaya bahasanya emang Bronx banget, tinggal tambah codet di muka, kemben sempit bahan kulit, sepatu boot, jadi deh ibu itu preman cewek negro dari Bronx.

Yang kali ini ketiban sial si Illa, cewek ala-ala Betty Lafea yang kecantikannya tersembunyi di balik kacamata tebel, kepang kuda dan rok yang kepanjangan. Gw sering berpikir gini kalo dia lewat di depan gw :

Ketika sedang jalan-jalan di lapangan sekolah sambil mendekap buku bersama teman-temannya, tiba-tiba Illa kesandung. Jatuh. Kacamatanya terlepas. Kepang kudanya juga terlepas, rambutnya tergerai. Dan ajaibnya, roknya juga secara inisiatif merobek dirinya sendiri sampai di atas paha dan secara kreatif pula, menyempitkan dirinya sendiri. Begitu bangun dari jatuh, voilla, Illa berubah jadi Farah Quinn dengan rambut berkibar-kibar tertiup angin sambil mengerling nakal ke arah remaja-remaja pria yang dulu meremehkannya. Oke ralat. Farah Quinn belum eksis tahun 2001. Illa berubah jadi Feby Lawrence.

Dengan senyum di wajah, Illa maju ke depan kelas. Ditilik dari senyumnya, dia bukan senyum karena membayangkan jatuh dengan rok yang menyempit sendiri, tapi karena soalnya mudah kayanya. Dengan asyiknya Illa mengerjakan soalnya. Jawabannya panjang banget. Sampai Illa harus bertekuk lutut di hadapan sang papan tulis sangkin panjangnya.

Nah, ketika asyik menyaksikan pertunjukan Illa bertekuk lutut itu, tiba-tiba kita dikagetkan oleh teriakan Illa, “Ibuuu…ada paku nancep di lutut saya”. Iya! Ada paku payung menancap di lutut Illa. Sontak kita semua serentak ketawa sambil nunjuk-nunjuk dia. Si Ibu sleng’ean cuma senyum-senyum simpul aja. Illa tambah panik. “Tolong cabutin dong…aku nggak berani”, makin dia panik, kita makin ketawa.

Tiba-tiba si Engkoh, cowok keturunan Tionghoa yang logatnya lebih betawi daripada Ondel-Ondel, maju ke depan kelas bermaksud untuk mencabut pake itu. Dan begitu di cabut, bak seorang dokter yang berhasil mengeluarkan paku dari rahim seorang korban dukun santet, dia bangga menunjukkan hasil “cabutannya” kepada seantero kelas. “Jiaaahh…cuma payungnya doang ternyata, payungnya doang yang nempel di lutut Illa, ngga ada bagian tajamnya”.

Kita ngga tau lagi harus mau ngapain selain : Menertawakan Illa. Ya gimana lagi, walaupun kasian sih dia sering dijadikan objek tertawaan, tapi kali ini emang dia harus ditertawakan. Bahkan kalo MUI mengharamkan “tertawa pada pelajaran matematika disebabkan hal apapun”, maka kita rela masuk neraka dan berpindah agama asalkan bisa tertawa. Astaghfirullah, berlebihan ya.

Dan setelahnya istirahat. Kalo jam pelajaran itu diibaratkan gua yang gelap (karena membuat frustasi dan membosankan), maka istirahat itu adalah cahaya kecil di ujung sana. Makanya kalo lagi pelajaran, liat deh jam dinding di kelas, terus inget istirahat deh, jadi berasa ada tujuan untuk dikejar. Jadi berasa semangat lagi karena ada harapan hidup di ujung sana setelah terkungkung dalam gua gelap selama berjam-jam.

Biasanya kalo bel istirahat tiba, gw beserta geng cowo di kelas, kaya orang kesetanan berlari menuju kantin. Laper. Berasa pengen melahap semua penganan di kantin. Inget dong, kita kan dalam masa pertumbuhan. Bagi kita cuma ada tiga jenis makanan di dunia: enak, enak banget, dan sebenernya-enak-tapi-kita-sering–ngaku-ngga-suka-biar-ngga-terlalu-dianggap-rakus, istilahnya social dislike, biar ngga berasa terlalu hina, kaya jengkol dan pete misalnya.



^%(&^^*(&*()*)*)_*)_()()_^*&^% pusiiiiiiiiiing